Monday, September 28, 2015

reblog dari: AQIDAH AHLUSSUNNAH: ALLAH ADA TANPA TEMPAT

reblog dari: AQIDAH AHLUSSUNNAH: ALLAH ADA TANPA TEMPAT

Suatu ketika al-Imam Abu Hanifah ditanya makna "Istawa", beliau menjawab: “Barangsiapa berkata: Saya tidak tahu apakah Allah berada di langit atau barada di bumi maka ia telah menjadi kafir. Karena perkataan semacam itu memberikan pemahaman bahwa Allah bertempat. Dan barangsiapa berkeyakinan bahwa Allah bertempat maka ia adalah seorang musyabbih; menyerupakan Allah dengan makhuk-Nya” (Pernyataan al-Imam Abu Hanifah ini dikutip oleh banyak ulama. Di antaranya oleh al-Imam Abu Manshur al-Maturidi dalam Syarh al-Fiqh al-Akbar, al-Imam al-Izz ibn Abd as-Salam dalam Hall ar-Rumuz, al-Imam Taqiyuddin al-Hushni dalam Daf’u Syubah Man Syabbah Wa Tamarrad, dan al-Imam Ahmad ar-Rifa’i dalam al-Burhan al-Mu’yyad).

Di sini ada pernyataan yang harus kita waspadai, ialah pernyataan Ibn al-Qayyim al-Jawziyyah. Murid Ibn Taimiyah ini banyak membuat kontroversi dan melakukan kedustaan persis seperti seperti yang biasa dilakukan gurunya sendiri. Di antaranya, kedustaan yang ia sandarkan kepada al-Imam Abu Hanifah. Dalam beberapa bait sya’ir Nuniyyah-nya, Ibn al-Qayyim menuliskan sebagai berikut:

“Demikian telah dinyatakan oleh Al-Imam Abu Hanifah an-Nu’man ibn Tsabit, juga oleh Al-Imam Ya’qub ibn Ibrahim al-Anshari. Adapun lafazh-lafazhnya berasal dari pernyataan Al-Imam Abu Hanifah...bahwa orang yang tidak mau menetapkan Allah berada di atas arsy-Nya, dan bahwa Dia di atas langit serta di atas segala tempat, ...
Demikian pula orang yang tidak mau mengakui bahwa Allah berada di atas arsy, --di mana perkara tersebut tidak tersembunyi dari setiap getaran hati manusia--,...
Maka itulah orang yang tidak diragukan lagi dan pengkafirannya. Inilah pernyataan yang telah disampaikan oleh al-Imam masa sekarang (maksudnya gurunya sendiri; Ibn Taimiyah).
Inilah pernyataan yang telah tertulis dalam kitab al-Fiqh al-Akbar (karya Al-Imam Abu Hanifah), di mana kitab tersebut telah memiliki banyak penjelasannya”.

Apa yang ditulis oleh Ibn al-Qayyim dalam untaian bait-bait syair di atas tidak lain hanya untuk mempropagandakan akidah tasybih yang ia yakininya. Ia sama persis dengan gurunya sendiri, memiliki keyakinan bahwa Allah bersemayam atau bertempat di atas arsy. Pernyataan Ibn al-Qayyim bahwa keyakinan tersebut adalah akidah al-Imam Abu Hanifah adalah kebohongan belaka. Kita meyakini sepenuhnya bahwa Abu Hanifah adalah seorang ahli tauhid, mensucikan Allah dari keserupaan dengan makhluk-Nya. Bukti kuat untuk itu mari kita lihat karya-karya al-Imam Abu Hanifah sendiri, seperti al-Fiqh al-Akbar, al-Washiyyah, atau lainnya. Dalam karya-karya tersebut terdapat banyak ungkapan beliau menjelaskan bahwa Allah sama sekali tidak menyerupai makhluk-Nya, Dia tidak membutuhkan kepada tempat atau arsy, karena arsy adalah makhluk Allah sendiri. Mustahil Allah membutuhkan kepada makhluk-Nya.

Sesungguhnya memang seorang yang tidak memiliki senjata argumen, ia akan berkata apapun untuk menguatkan keyakinan yang ia milikinya, termasuk melakukan kebohongan-kebohongan kepada para ulama terkemuka. Inilah tradisi ahli bid’ah, untuk menguatkan bid’ahnya, mereka akan berkata: al-Imam Malik berkata demikian, atau al-Imam Abu Hanifah berkata demikian, dan seterusnya. Padahal sama sekali perkataan mereka adalah kedustaan belaka.
Dalam al-Fiqh al-Akbar, al-Imam Abu Hanifah menuliskan sebagai berikut:

“Dan sesungguhnya Allah itu satu bukan dari segi hitungan, tapi dari segi bahwa tidak ada sekutu bagi-Nya. Dia tidak melahirkan dan tidak dilahirkan, tidak ada suatu apapun yang meyerupai-Nya. Dia bukan benda, dan tidak disifati dengan sifat-sifat benda. Dia tidak memiliki batasan (tidak memiliki bentuk; artinya bukan benda), Dia tidak memiliki keserupaan, Dia tidak ada yang dapat menentang-Nya, Dia tidak ada yang sama dengan-Nya, Dia tidak menyerupai suatu apapun dari makhluk-Nya, dan tidak ada suatu apapun dari makhluk-Nya yang menyerupainya” (Lihat al-Fiqh al-Akbar dengan Syarh-nya karya Mulla ‘Ali al-Qari’, h. 30-31).

Masih dalam al-Fiqh al-Akbar, Al-Imam Abu Hanifah juga menuliskan sebagai berikut:

وَاللهُ تَعَالى يُرَى فِي الآخِرَة، وَيَرَاهُ الْمُؤْمِنُوْنَ وَهُمْ فِي الْجَنّةِ بِأعْيُنِ رُؤُوسِهِمْ بلاَ تَشْبِيْهٍ وَلاَ كَمِّيَّةٍ وَلاَ يَكُوْنُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ خَلْقِهِ مَسَافَة.“Dan kelak orang-orang mukmin di surga nanti akan melihat Allah dengan mata kepala mereka sendiri. Mereka melihat-Nya tanpa adanya keserupaan (tasybih), tanpa sifat-sifat benda (Kayfiyyah), tanpa bentuk (kammiyyah), serta tanpa adanya jarak antara Allah dan orang-orang mukmin tersebut (artinya bahwa Allah ada tanpa tempat, tidak di dalam atau di luar surga, tidak di atas, bawah, belakang, depan, samping kanan atau-pun samping kiri)”” ( Lihat al-Fiqh al-Akbar dengan syarah Syekh Mulla Ali al-Qari, h. 136-137).

Pernyataan al-Imam Abu Hanifah ini sangat jelas dalam menetapkan kesucian tauhid. Artinya, kelak orang-orang mukmin disurga akan langsung melihat Allah dengan mata kepala mereka masing-masing. Orang-orang mukmin tersebut di dalam surga, namun Allah bukan berarti di dalam surga. Allah tidak boleh dikatakan bagi-Nya “di dalam” atau “di luar”. Dia bukan benda, Dia ada tanpa tempat dan tanpa arah. Inilah yang dimaksud oleh Al-Imam Abu Hanifah bahwa orang-orang mukmin akan melihat Allah tanpa tasybih, tanpa Kayfiyyah, dan tanpa kammiyyah.

Pada bagian lain dari Syarh al-Fiqh al-Akbar, yang juga dikutip dalam al-Washiyyah, al-Imam Abu Hanifah berkata:

ولقاء الله تعالى لأهل الجنة بلا كيف ولا تشبيه ولا جهة حق“Bertemu dengan Allah bagi penduduk surga adalah kebenaran. Hal itu tanpa dengan Kayfiyyah, dan tanpa tasybih, dan juga tanpa arah” (al-Fiqh al-Akbar dengan Syarah Mulla ‘Ali al-Qari’, h. 138).

Kemudian pada bagian lain dari al-Washiyyah, beliau menuliskan:

وَنُقِرّ بِأنّ اللهَ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى عَلَى العَرْشِ اسْتَوَى مِنْ غَيْرِ أنْ يَكُوْنَ لَهُ حَاجَةٌ إليْهِ وَاسْتِقْرَارٌ عَلَيْهِ، وَهُوَ حَافِظُ العَرْشِ وَغَيْرِ العَرْشِ مِنْ غَبْرِ احْتِيَاجٍ، فَلَوْ كَانَ مُحْتَاجًا لَمَا قَدَرَ عَلَى إيْجَادِ العَالَمِ وَتَدْبِيْرِهِ كَالْمَخْلُوقِيْنَ، وَلَوْ كَانَ مُحْتَاجًا إلَى الجُلُوْسِ وَالقَرَارِ فَقَبْلَ خَلْقِ العَرْشِ أيْنَ كَانَ الله، تَعَالَى اللهُ عَنْ ذَلِكَ عُلُوّا كَبِيْرًا.“Kita menetapkan sifat Istiwa bagi Allah pada arsy, bukan dalam pengertian Dia membutuhkan kepada arsy tersebut, juga bukan dalam pengertian bahwa Dia bertempat atau bersemayam di arsy. Allah yang memelihara arsy dan memelihara selain arsy, maka Dia tidak membutuhkan kepada makhluk-makhluk-Nya tersebut. Karena jika Allah membutuhkan kapada makhluk-Nya maka berarti Dia tidak mampu untuk menciptakan alam ini dan mengaturnya. Dan jika Dia tidak mampu atau lemah maka berarti sama dengan makhluk-Nya sendiri. Dengan demikian jika Allah membutuhkan untuk duduk atau bertempat di atas arsy, lalu sebelum menciptakan arsy dimanakah Ia? (Artinya, jika sebelum menciptakan arsy Dia tanpa tempat, dan setelah menciptakan arsy Dia berada di atasnya, berarti Dia berubah, sementara perubahan adalah tanda makhluk). Allah maha suci dari pada itu semua dengan kesucian yang agung” (Lihat al-Washiyyah dalam kumpulan risalah-risalah Imam Abu Hanifah tahqiq Muhammad Zahid al-Kautsari, h. 2. juga dikutip oleh Mullah Ali al-Qari dalam Syarh al-Fiqhul Akbar, h. 70).

Dalam al-Fiqh al-Absath, al-Imam Abu Hanifah menuliskan:

قُلْتُ: أرَأيْتَ لَوْ قِيْلَ أيْنَ اللهُ؟ يُقَالُ لَهُ: كَانَ اللهُ تَعَالَى وَلاَ مَكَانَ قَبْلَ أنْ يَخْلُقَ الْخَلْقَ، وَكَانَ اللهُ تَعَالَى وَلَمْ يَكُنْ أيْن وَلاَ خَلْقٌ وَلاَ شَىءٌ، وَهُوَ خَالِقُ كُلّ شَىءٍ.“Aku katakan: Tahukah engkau jika ada orang berkata: Di manakah Allah? Jawab: Dia Allah ada tanpa permulaan dan tanpa tempat, Dia ada sebelum segala makhluk-Nya ada. Allah ada tanpa permulaan sebelum ada tempat, sebelum ada makhluk dan sebelum segala suatu apapun. Dan Dia adalah Pencipta segala sesuatu” (Lihat al-Fiqh al-Absath karya al-Imam Abu Hanifah dalam kumpulan risalah-risalahnya dengan tahqiq Muhammad Zahid al-Kautsari, h. 20).

Pada bagian lain dalam kitab al-Fiqh al-Absath, al-Imam Abu Hanifah menuliskan:

“Allah ada tanpa permulaan (Azali, Qadim) dan tanpa tempat. Dia ada sebelum menciptakan apapun dari makhluk-Nya. Dia ada sebelum ada tempat, Dia ada sebelum ada makhluk, Dia ada sebelum ada segala sesuatu, dan Dialah pencipta segala sesuatu. Maka barangsiapa berkata saya tidak tahu Tuhanku (Allah) apakah Ia di langit atau di bumi?, maka orang ini telah menjadi kafir. Demikian pula menjadi kafir seorang yang berkata: Allah bertempat di arsy, tapi saya tidak tahu apakah arsy itu di bumi atau di langit” (al-Fiqh al-Absath, h. 57).

Dalam tulisan al-Imam Abu Hanifah di atas, beliau mengkafirkan orang yang berkata: “Saya tidak tahu Tuhanku (Allah) apakah Ia di langit atau di bumi?”. Demikian pula beliau mengkafirkan orang yang berkata: “Allah bertempat di arsy, tapi saya tidak tahu apakah arsy itu di bumi atau di langit”.

Klaim kafir dari al-Imam Abu Hanifah terhadap orang yang mengatakan dua ungkapan tersebut adalah karena di dalam ungkapan itu terdapat pemahaman adanya tempat dan arah bagi Allah. Padahal sesuatu yang memiliki tempat dan arah sudah pasti membutuhkan kepada yang menjadikannya dalam tempat dan arah tersebut. Dengan demikian sesuatu tersebut pasti baharu (makhluk), bukan Tuhan.

Tulisan al-Imam Abu Hanifah ini seringkali disalahpahami atau sengaja diputarbalikan pemaknaannya oleh kaum Musyabbihah. Perkataan al-Imam Abu Hanifah ini seringkali dijadikan alat oleh kaum Musyabbihah untuk mempropagandakan keyakinan mereka bahwa Allah berada di langit atau berada di atas arsy. Padahal sama sekali perkataan al-Imam Abu Hanifah tersebut bukan untuk menetapkan tempat atau arah bagi Allah. Justru sebaliknya, beliau mengatakan demikian adalah untuk menetapkan bahwa Allah ada tanpa tempat dan tanpa arah. Hal ini terbukti dengan perkataan-perkataan al-Imam Abu Hanifah sendiri seperti yang telah kita kutip di atas. Di antaranya tulisan beliau dalam al-Washiyyah: “Jika Allah membutuhkan untuk duduk atau bertempat di atas arsy, lalu sebelum menciptakan arsy dimanakah Ia?”.

Dengan demikian menjadi jelas bagi kita bahwa klaim kafir yang sematkan oleh al-Imam Abu Hanifah adalah terhadap mereka yang berakidah tasybih; yaitu mereka yang berkeyakinan bahwa Allah bersemayam di atas arsy. Inilah maksud yang dituju oleh al-Imam Abu Hanifah dengan dua ungkapannya tersebut di atas, sebagaimana telah dijelaskan oleh al-Imam al-Bayyadli al-Hanafi dalam karyanya; Isyarat al-Maram Min ‘Ibarat al-Imam (Lihat Isyarat al-Maram, h. 200). Demikian pula prihal maksud perkataan al-Imam Abu Hanifah ini telah dijelasakan oleh al-Muhaddits al-Imam Muhammad Zahid al-Kautsari dalam kitab Takmilah as-Saif ash-Shaqil (Lihat Takmilah ar-Radd ‘Ala an-Nuniyyah, h. 180).
Asy-Syaikh ‘Ali Mulla al-Qari di dalam Syarah al-Fiqh al-Akbar menuliskan sebagai berikut:

“Ada sebuah riwayat berasal dari Abu Muthi’ al-Balkhi bahwa ia pernah bertanya kepada Abu Hanifah tentang orang yang berkata “Saya tidak tahu Allah apakah Dia berada di langit atau berada di bumi!?”. Abu Hanifah menjawab: “Orang tersebut telah menjadi kafir, karena Allah berfirman “ar-Rahman ‘Ala al-arsy Istawa”, dan arsy Allah berada di atas langit ke tujuh”. Lalu Abu Muthi’ berkata: “Bagaimana jika seseorang berkata “Allah di atas arsy, tapi saya tidak tahu arsy itu berada di langit atau di bumi?!”. Abu Hanifah berkata: “Orang tersebut telah menjadi kafir, karena sama saja ia mengingkari Allah berada di langit. Dan barangsiapa mengingkari Allah berada di langit maka orang itu telah menjadi kafir. Karena Allah berada di tempat yang paling atas. Dan sesungguhnya Allah diminta dalam doa dari arah atas bukan dari arah bawah”.Kita jawab riwayat Abu Muthi’ ini dengan riwayat yang telah disebutkan oleh al-Imam al-Izz ibn Abd as-Salam dalam kitab Hall ar-Rumuz, bahwa al-Imam Abu Hanifah berkata: “Barangsiapa berkata “Saya tidak tahu apakah Allah di langit atau di bumi?!”, maka orang ini telah menjadi kafir. Karena perkataan semacam ini memberikan pemahaman bahwa Allah memiliki tempat. Dan barangsiapa berkeyakinan bahwa Allah memiliki tempat maka orang tersebut seorang musyabbih; menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya”. Al-Imam al-Izz ibn Abd as-Salam adalah ulama besar terkemuka dan sangat terpercaya. Riwayat yang beliau kutip dari al-Imam Abu Hanifah dalam hal ini wajib kita pegang teguh. Bukan dengan memegang tegung riwayat yang dikutip oleh Ibn ‘Abi al-Izz; (yang telah membuat syarah Risalah al-‘Aqidah ath-Thahawiyyah versi akidah tasybih). Di samping ini semua, Abu Muthi’ al-Balkhi sendiri adalah seorang yang banyak melakukan pemalsuan, seperti yang telah dinyatakan oleh banyak ulama hadits” (Syarh al-Fiqh al-Akbar, h. 197-198).

Asy-Syaikh Musthafa Abu Saif al-Hamami, salah seorang ulama al-Azhar terkemuka, dalam kitab karyanya berjudul Ghauts al-‘Ibad Bi Bayan ar-Rasyad menuliskan beberapa pelajaran penting terkait riwayat Abu Muthi’ al-Balkhi di atas, sebagai berikut:

Pertama: Bahwa pernyataan yang dinisbatkan kepada al-Imam Abu Hanifah tersebut sama sekali tidak ada penyebutannya dalam al-Fiqh al-Akbar. Pernyataan semacam itu dikutip oleh orang yang tidak bertanggungjawab, dan dengan sengaja ia berdusta mengatakan bahwa itu pernyataan al-Imam Abu Hanifah dalam al-Fiqh al-Akbar, tujuannya tidak lain adalah untuk mempropagandakan kesesatan orang itu sendiri.Kedua: Kutipan riwayat semacam ini jelas berasal dari seorang pemalsu (wadla’). Riwayat orang semacam ini, dalam masalah-masalah furu’iyyah (fiqih) saja sama sekali tidak boleh dijadikan sandaran, terlebih lagi dalam masalah-masalah ushuliyyah (akidah). Mengambil periwayatan orang pemalsu semacam ini adalah merupakan pengkhiatan terhadap ajaran-ajaran agama. Dan ini tidak dilakukan kecuali oleh orang yang hendak menyebarkan kesesatan atau bid’ah yang ia yakini.
Ketiga: Periwayatan pemalsu ini telah terbantahkan dengan periwayatan yang benar dari seorang al-Imam agung terpercaya (tsiqah), yaitu al-Imam al-Izz ibn Abd as-Salam. Periwayatan al-Imam Ibn Abd as-Salam tentang perkataan al-Imam Abu Hanifah jauh lebih terpercaya dan lebih benar dibanding periwayatan pemalsu tersebut. Berpegang teguh kepada periwayatan seorang pendusta (kadzdzab) dengan meninggalkan periwayatan seorang yang tsiqah adalah sebuah pengkhianatan, yang hanya dilakukan seorang ahli bid’ah saja. Seorang yang melakukan pemalsuan semacam ini, cukup untuk kita klaim sebagai orang yang tidak memiliki amanah. Jika orang awam saja melakukan pemalsuan semacam ini dapat menjadikannya seorang yang tidak dapat dihormati lagi, terlebih jika pemalsuan ini dilakukan oleh seorang yang alim, maka jelas orang alim ini tidak bisa dipertanggungjawabkan lagi dengan ilmu-ilmunya. Dan “orang alim” semacam itu tidak pantas untuk kita sebut sebagai orang alim, terlebih kita golongkannya dari jajaran Imam-Imam terkemuka, atau para ahli ijtihad. Dan lebih parah lagi jika pengkhianatan pemalsu ini dalam tiga perkara ini sekaligus. Padahal dengan hanya satu pengkhianatan saja sudah dapat menurunkannya dari derajat tsiqah. Karena jika satu riwayat sudah ia dikhianati, maka kemungkinan besar terhadap riwayat-riwayat yang lainpun ia akan melakukan hal sama (Lebih lengkap lihat Ghauts al-‘Ibad Bi Bayan ar-Rasyad, h. 99-100).

Kemudian dalam bait sya’ir di atas, Ibn al-Qayyim tidak hanya membuat kedustaan kepada al-Imam Abu Hanifah, namun ia juga melakukan kedustaan yang sama terhadap al-Imam Ya’qub. Yang dimaksud al-Imam Ya’qub dalam bait sya’ir ini adalah sahabat al-Imam Abu Hanifah; yaitu Abu Yusuf Ya’qub ibn Ibrahim al-Anshari. Dalam menyikapi perbuatan Ibn al-Qayyim ini, asy-Syaikh Musthafa Abu Saif al-Humami berkata: “Tidak diragukan lagi apa yang ia nyatakan ini adalah sebuah kedustaan untuk tujuan mempropagandakan keyakinan bid’ahnya” (Lihat Ghauts al-‘Ibad Bi Bayan ar-Rasyad, h. 99).

Penilaian yang sama terhadap Ibn al-Qayyim semacam ini juga telah diungkapkan oleh al-Muhaddits al-Imam Muhammad Zahid al-Kautsari dalam kitab bantahannya terhadap Ibn al-Qayyim sendiri, berjudul Takmilah ar-Radd ‘Ala Nuniyyah Ibn al-Qayyim. Karya Al-Imam al-Kautsari ini adalah sebagai tambahan atas kitab karya Al-Imam Taqiyyuddin as-Subki berjudul as-Saif ash-Shaqil Fi ar-Radd ‘Ala ibn Zafil, kitab yang juga berisikan serangan dan bantahan terhadap bid’ah-bid’ah Ibn al-Qayyim. Yang dimaksud dengan “Ibn Zafil” oleh Al-Imam Taqiyyuddin as-Subki dalam judul kitabnya ini adalah Ibn al-Qayyim al-Jawziyyah; murid dari Ibn Taimiyah (Lihat Takmilah ar-Radd ‘Ala an-Nuniyyah, h. 108).
Dengan demikian riwayat yang sering dipropagandakan oleh Ibn al-Qayyim, yang juga sering dipropagandakan oleh kaum Wahhabiyyah bahwa al-Imam Abu Hanifah berkeyakinan “Allah berada di langit” adalah kedustaan belaka. Riwayat ini sama sekali tidak benar. Dalam rangkaian sanad riwayat ini terdapat nama-nama perawi yang bermasalah, di antaranya; Abu Muhammad ibn Hayyan, Nu’aim ibn Hammad, dan Nuh ibn Abi Maryam Abu ‘Ishmah.
Orang pertama, yaitu Abu Muhammad ibn Hayyan, dinilai dla’if oleh ulama hadits terkemuka yang hidup dalam satu wilayah dengan Abu Muhammad ibn Hayyan sendiri. Ulama hadits tersebut adalah al-Imam al-Hafizh al-‘Assal. Kemudian orang kedua, yaitu Nu’aim ibn Hammad adalah seorang mujassim (Lihat Tahdzib at-Tahdzib, j. 10, h. 409).
Demikian pula Nuh ibn Abi Maryam yang merupakan ayah tiri dari Nu’aim ibn Hammad, juga seorang mujassim (Lihat Tahdzib at-Tahdzib, j. 10, h. 433).

Dan Nuh ibn Abi Maryam ini adalah anak tiri dari Muqatil ibn Sulaiman; pemuka kaum mujassimah. Dengan demikian, Nu’aim ibn Hammad telah dirusak oleh ayah tirinya sendiri, yaitu Nuh ibn Abi Maryam. Demikian pula Nuh ibn Abi Maryam telah dirusak oleh ayah tirinya sendiri, yaitu Muqatil ibn Sulaiman. Orang-orang yang kita sebutkan ini, sebagaimana dinilai oleh para ulama ahli kalam, mereka semua adalah orang-orang yang berkeyakinan tasybih dan tajsim. Dengan demikian bagaimana mungkin riwayat orang-orang yang berakidah tasybih dan tajsim semacam mereka dapat dijadikan sandaran dalam menetapkan permasalahan akidah?! Sesungguhnya orang yang bersandar kepada mereka adalah bagian dari mereka sendiri.

Al-Imam al-Hafizh Ibn al-Jawzi dalam kitab Daf’u Syubah at-Tasybih, dalam penilaiannya terhadap Nu’aim ibn Hammad, mengutip perkataan Ibn ‘Adi, mengatakan: “Dia (Nu’aim ibn Hammad) adalah seorang pemalsu hadits” (Lihat Daf’u Syubah at-Tasybih, h. 32).

Kemudian al-Imam Ahmad ibn Hanbal pernah ditanya tentang riwayat Nu’im ibn Hammad, tiba-tiba beliau memalingkan wajahnya sambil berkata: “Hadits munkar dan majhul” (Daf’u Syubah at-Tasybih, h. 32). Penilaian Al-Imam Ahmad ini artinya bahwa riwayat Nu’aim ibn Hammad ada sesuatu yang sama sekali tidak benar.

(Masalah)
Jika kaum Musyabbihah, seperti kaum Wahhabiyyah, mengatakan bahwa adz-Dzahabi telah mengutip riwayat dari kitab al-Asma’ Wa ash-Shifat karya al-Hafizh al-Bayhaqi bahwa pernyataan “Allah berada di langit” adalah berasal dari al-Imam Abu Hanifah.

(Jawab)
Kita katakan: Riwayat al-Hafizh al-Bayhaqi dalam kitab al-Asma’ Wa ash-Shifat dengan memepergunakan kata “In shahhat al-hikayah...” (al-Asma’ Wa ash-Shifat, h. 429). Hal ini menunjukan bahwa riwayat tersebut bermasalah. Artinya, riwayat yang dikutip al-Hafizh al-Bayhaqi ini bukan untuk dijadikan dalil. Yang menjadi masalah besar ialah bahwa tulisan al-Bayhaqi “In shahhat ar-riwayah...” ini diacuhkan oleh adz-Dzahabi untuk tujuan memberikan pemahaman kepada para pembaca bahwa pernyataan “Allah berada di langit” adalah statemen al-Imam Abu Hanifah. Ini menunjukan bahwa adz-Dzahabi tidak memiliki amanat ilmiyah. Hal ini juga menunjukan bahwa adz-Dzahabi telah banyak dipengaruhi oleh faham-faham gurunya sendiri, yaitu Ibn Taimiyah. al-Imam al-Muhaddits Muhammad Zahid al-Kautsari dalam Takmilah ar-Radd ‘Ala Nuniyyah Ibn al-Qayyim menuliskan bahwa pernyataan al-Bayhaqi dalam al-Asma’ Wa ash-Shifat: “In shahhat ar-riwayah...” menunjukan bahwa dalam riwayat tersebut terdapat beberapa cacat (al-khalal).
Namun hal terpenting dari pada itu ialah bahwa al-Imam al-Bayhaqi dalam kitab al-Asma’ Wa ash-Shifat tersebut, di dalam banyak tempat banyak menyebutkan tentang kesucian Allah dari pada tempat dan arah, salah satunya pernyataan beliau berikut ini:

“Sebagian sahabat kami (kaum Ahlussunnah dari madzhab Asy’ariyyah Syafi’iyyah) mengambil dalil dalam menafikan tempat dari Allah dengan sebuah hadits sabda Rasulullah: “Engkau ya Allah az-Zahir (Yang segala sesuatu menunjukan akan keberadaan-Nya) tidak ada suatu apapun di atas-Mu, dan Engkau ya Allah al-Bathin (Yang tidak dapat diraih oleh akal pikiran) tidak ada suatu apapun di bawah-Mu”. Dari hadits ini dipahami jika tidak ada suatu apapun di atas Allah, dan tidak ada suatu apapun di bawah-Nya maka berarti Dia ada tanpa tempat” (al-Asma’ Wa ash-Shifat, h. 400).

Pada halaman lain dalam kitab al-Asma’ Wa ash-Shifat, Al-Imam al-Bayhaqi menuliskan:

“Apa yang diriwayatkan secara menyendiri (tafarrud) oleh al-Kalbi dan lainnya memberikan pemahaman bahwa Allah memiliki bentuk, padahal sesuatu yang memiliki bentuk maka pasti dia itu baharu, membutuhkan kepada yang menjadikannya dalam bentuk tersebut. Sementara Allah itu Qadim dan Azali (tanpa permulaan)” (al-Asma’ Wa ash-Shifat, h. 415).

Pada bagian lain dari kitab di atas, al-Imam al-Bayhaqi menuliskan:

“Sesungguhnya Allah ada tanpa tempat” (al-Asma’ Wa ash-Shifat, h. 448-449).

Juga mengatakan:

“Sesungguhnya gerak, diam, dan bersemayam atau bertempat itu adalah termasuk sifat-sifat benda. Sementara Allah tidak ada sekutu bagi-Nya, Dia tidak membutuhkan kepada suatu apapun, dan tidak ada suatu apapun yang menyerupai-Nya” (al-Asma’ Wa ash-Shifat, h. 448-449).

Dengan penjelasan ini menjadi sangat terang bagi kita bahwa keyakinan Allah berada di langit yang dituduhkan sebagai keyakinan Al-Imam Abu Hanifah adalah kedustaan belaka yang sama seakali tidak benar dan tidak dapat dipertanggungjawabkan. Tuduhan semacam ini tidak hanya kedustaan kepada Al-Imam Abu Hanifah semata, tapi juga kedusataan terhadap orang-orang Islam secara keseluruhan dan kedustaan terhadap ajaran-ajaran Islam itu sendiri.
Al Hamdu Lillah Rabb al-Alamin.

sumber: https://id-id.facebook.com/notes/aqidah-ahlussunnah-allah-ada-tanpa-tempat/allah-ada-tanpa-tempat-membongkar-aqidah-sesat-wahhabi-yang-sering-berbohong-bes/112482625435322

Thursday, September 03, 2015

Teknologi canggih sekarang ini sebenarnya sudah kuno!

Pernahkah terpikir, smartphone, computer, mobil, listrik, dan lain sebagainya, dimana kita bisa mengatakan semua itu adalah teknologi canggih zaman sekarang. Padahal semua itu kuno, ya! kuno!

 Sebenarnya manusia itu hanyalah napak tilas atas apa yang Alloh contohkan, mulai dari teknologi informasi yang sangat cepat, informasi dari malaikat untuk Nabi Muhammad SAW, smartphone secanggih apapun akan kalah telak kecepatannya dalam menyampaikan informasi, dibandingkan kecepatan informasi yang dibawa malaikat jibril kepada Nabi SAW. 

Lalu untuk kendaraan, siapa yang bisa mengalahkan Bouraq, kendaraan super duper cepat yang dipersiapkan Alloh untuk Nabi Muhammad SAW ber-isra' Mi'raj. 

Sedangkan komputer pada saat ini, yang sudah tergabung dengan internet dengan kekuatan database ber-ribu/ juta terrabyte, baik google, yahoo, facebook, dll, ternyata tidak ada apa-apanya, dibandingkan dengan database yang dimiliki Alloh, yakni: Lauhil Mahfudz. Lauhil mahfudz adalah super duper database yang tak terbatas, berisi seluruh data tentang dunia fana alam semesta ini, kejadian apapun, baik yang sudah, sedang, bahkan akan terjadi di masa depan sudah tercatat dengan lengkap dan super duper komplet di dalam database kitab Lauhil mahfudz ini. 

Jadi apakah semua peralatan yang modern pada saat ini sudah cukup canggih?! sepertinya tidak ada artinya dibandingkan dengan kekuatan Alloh SWT. Wallohu a'lam...

Saturday, June 09, 2012

Kita semua berada di dalam Dzat Alloh SWT

InsyaAlloh kalau hal yang saya pikirkan ini benar, maka sebenarnya kita semua ini berada di dalam Dzat Alloh, Alloh ada dimanapun kita berada, Alloh lebih dekat dari urat nadi di leher kita (Allah Ta'ala Berfirman: "Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih kepadanya daripada urat lehernya." (Surat Qaaf : 16)), dari ayat tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa secara logis kita semua ini berada di dalam Dzat Alloh, yang berarti juga kita semua adalah bagian dari Alloh. Seperti yang telah kita ketahui bersama, apa yang dikatakan oleh Syeh Siti Jenar tentang manunggaling kawula Gusti, itu bukan berarti bahwa "manusia menyatu dengan Tuhan" adalah memiliki arti "Manusia itu Tuhan", tetapi "manusia adalah bagian dari Tuhan", yaitu berupa ciptaan-Nya. Kita berada di dalam Dzat Alloh Yang Maha Besar, logikanya, karena Alloh adalah Dzat yang Maha Besar, otomatis segala sesuatu yang bukan Alloh adalah Maha Kecil dan berada di dalam Alloh Yang Maha Besar, karena kita dan alam semesta sangat kecil, otomatis kita berada di dalam Dzat Alloh yang Maha Besar yang meliputi kita dan alam semesta ini. Jadi sebenarnya ungkapan berhadapan dengan Alloh atau menghadap Alloh adalah kurang pas, karena sebenarnya kita berada di dalam Alloh itu sendiri, Alloh meliputi kita dan seluruh alam semesta. Karena Alloh Maha Besar tiada tara, jadi semua tempat adalah Alloh itu sendiri, dan karena kita berada di dalam Dzat Alloh, maka otomatis kita tidak akan bisa dan mampu melihat Alloh secara utuh, meskipun Alloh jelas wujud, contoh mudahnya, sebagaimana kita berada di dalam galaxy bima sakti, otomatis kita tidak akan bisa mengamati secara utuh bentuk galaxy bima sakti, karena kita berada di dalam tempat yang kita amati. Hal ini menunjukkan secara logis kenapa Alloh lebih dekat dari urat nadi di leher kita, karena bukan saja lebih dekat, tapi malahan kita memang berada di dalam Dzat Alloh SWT, dan kita semua merupakan bagian dari Dzat Alloh sebagai ciptaan-Nya. Wallohu a'lam.

Monday, July 12, 2010

Isra' Mi'raj (perjalanan malam Nabi Muhammad SAW ke masa depan)

Bismillahirrohmaanirrohiim
...
Jika ada teori yg menyatakan bahwa kita bisa kembali ke masa lalu, menurut saya itu adalah suatu kemustahilan bagi kita untuk dipraktekkan, karena masa lalu adalah jarak yang semakin menjauh tak terjangkau...
Akan tetapi ada teori yang menyatakan bahwa kita bisa melakukan perjalanan ke masa depan, kedengarannya memang masuk akal, akan tetapi kita tetap tidak akan bisa melakukannya tanpa izin Alloh SWT.
Saya memiliki suatu teori sendiri tentang perjalanan lintas waktu, yang terilhami oleh perjalanan Rosululloh SAW, yaitu perjalanan Isra' Mi'raj (terus terang saya tidak tahu apakah sudah ada yg pernah memikirkan ttg hal ini, karena apa yg saya pikirkan inipun hanya berasal dari Alloh SWT semata).
Rosululloh SAW adalah satu-satunya manusia yang pernah mengalami perjalanan lintas waktu (ke masa depan) dengan amat cepat. karena perjalanan pada waktu malam tersebut tidak sampai memakan waktu sampai semalaman. Isra' perjalanan pada waktu malam, Mi'raj perjalanan ke langit (dalam hal ini secara logis adalah perjalanan lintas waktu di luar dimensi ruang & waktu kita, bisa beralih ke dimensi lain melaui semacam wormhole-Alhamdulillah mendapat pencerahan dari Bp. Prof Husin Alatas-), jadi hanya karena atas izin Alloh SWT saja, Nabi besar Muhammad SAW dapat melakukan perjalanan tersebut.
Lalu bagaimanakah teori itu? menurut saya, perjalanan waktu bisa kita lakukan jika kita berada di luar dimensi ruang & waktu tempat kita tinggal ini, seperti yang telah terjadi pada Rosululloh SAW. Jadi jelas sekali, dengan kemampuan yang kita punya, akan mustahil melakukan perjalanan itu, kecuali atas izin Alloh SWT semata. Analogi yang sangat mudah seperti ini; Jika kita melihat suatu Film/ Movie, setiap orang/ tokoh yang ada didalam film tidak akan bisa merubah apapun peran yang sudah jadi padanya mulai awal film sampai akhir=linier. Akan tetapi kita, yang berada di luar "system/ Film" tersebut akan sangat dengan mudah mem-fastforward, rewind, bahkan mengedit tokoh2 yang ada dalam "system/ film" tersebut. Jadi selama kita masih berada di dalam dimensi ruang & waktu kita ini, kita tidak akan mampu melakukan perjalan lintas waktu tersebut. Hanya manusia yang berada di luar dimensi ruang & waktu kita yang bisa melakukan itu, yaitu Nabi Muhammad SAW dalam perjalanan Isra' Mi'raj. Karena dalam perjalanan tersebut, Nabi telah diperlihatkan Alloh SWT seperti apa hari kiamat, seperti apa hari pembalasan, seperti apa surga, juga neraka, bahkan sampai Sidhratul Muntaha beliau menerima perintah sholat 5 waktu, yang sebelumnya Nabi Muhammad SAW jg berjumpa dengan Nabi2 terdahulu. Jadi sebenarnya yang diperlihatkan Alloh SWT kepada Nabi Muhammad SAW tersebut memang benar-benar kejadian pada saat itu, di masa depan kelak. Karena di sisi Alloh SWT, perjalanan alam semesta/ dunia fana ini telah berakhir, atau bahasa mudahnya film telah selesai, jadi pada saat sekarang ini, masa kita saat ini adalah proses pemutaran film dunia fana tersebut. Maka dengan perjalanan spektakuler tersebut, menunjukkan bahwa hanya manusia pilihan, seorang Nabi besar akhir zaman, Rosululloh Muhammad SAW adalah satu-satunya manusia yang diberikan keistimewaan oleh Alloh SWT untuk melakukan perjalanan lintas waktu yang amat cepat pada waktu malam yaitu Isra' Mi'raj, sebagai bukti keagungan Alloh SWT dan pelajaran bagi kita untuk selalu memperkuat iman dan taqwa kita kepada-NYA...Amien...
Wallohua'lam...

Friday, July 03, 2009

Pemimpin dengan Filosofi Server...

Sungguh indah, bila para pemimpin kita, menganut filosofi “server”. Walaupun meminta di tempatkan di rak, dan ruang khusus, dgn suhu dingin double AC, bahkan dgn spec tinggi, Ketahanan tinggi, speed koneksi tinggi, kapasitas storage besar, tapi bagaimanapun juga dia tetaplah “server=sang pelayan”. Itulah filosofi pemimpin yang sebenar-benarnya, yaitu melayani rakyatnya. Jadi, dengan segala fasilitas yg tersedia lengkap dari negara, yang di dapat oleh seorang pemimpin, adalah demi kepentingan dan kemudahan untuk melayani rakyatnya. Persis seperti prinsip kerja server, yang meskipun minta fasilitas terlengkap, adalah demi menunjang keandalan pelayanannya kepada client atau pengguna. bahkan sekarang, sang pelayan sudah tidak lagi memerlukan daya consumption listrik tinggi, dengan adanya blade server yang lebih powerful, meski dengan konsumsi daya listrik yang rendah. Dari sini pun, dapat diambil hikmah yang tak terduga. Bahwa untuk menjadi pemimpin (pelayan) rakyat yang benar-benar powerfull, tdk harus dengan fasilitas dan uang yang berhamburan, akan tetapi cukup dengan kepercayaan rakyat secara penuh. Karena kepercayaan inilah yang akan memperkuat bangsa secara bersama-sama mencapai tujuannya. secara bahu-membahu atau redundancy seperti pada blade server.
Akhirnya dapat kita ketahui arti pemimpin yang sebenarnya adalah sebagai pelayan, pelayan bagi yang dipimpinnya, seperti filosofi server yang akan selalu setia melayani. Bukan malah sebaliknya, pemimpin minta untuk selalu dilayani. Semoga, pada akhirnya bangsa Indonesia akan memiliki pemimpin bangsa yang dengan sungguh-sungguh mau melayani rakyatnya dengan sepenuh hati...amien.

Tuesday, January 06, 2009

ALLAH TIADA BER-UMUR

Dalam Al Qur'an Surah Al Fatihah Ayat 2: "Alhamdulillaahi rabbil 'aalamiin" yang berarti: "Segala puji hanya bagi Allah, Tuhan seluruh alam".
Dari arti ayat: "Tuhan seluruh alam" ini, maka kita dapat mengetahui bahwa Allah adalah Tuhan seluruh alam, yang mutlak sebagai pencipta, pengatur, pemelihara, penguasa mutlak, dan yang berhak untuk disembah sampai akhir masa/ kiamat dari berlangsungnya kehidupan dan perjalanan waktu seluruh alam ini. Karenanya, dapat diketahui pula, dari kata "seluruh alam", bisa berarti bahwa kekuasan dan ciptaan Allah bukan hanya alam yang kita kenal ini saja. Terdapat kemungkinan masih banyak alam-alam lain ciptaan Allah, yang jelas kita tidak mempunyai pengetahuan tentang hal itu, kecuali hanya atas izin-Nya. Hal tersebut berarti memungkinkan bahwa alam dunia yang fana ini bukan hanya semesta saja, tapi bisa multimesta. Ini berarti pula, bahwa kemungkinan masih banyak alam semesta lain ciptaan Allah, selain alam semesta yang kita kenal selama ini, dimana bumi berada dan kita tinggal di dalamnya. Belum lagi alam-alam yang lain, seperti alam ghaib dan alam -alam lainnya yang jelas kita hanya tahu sedikit sekali tentang itu semua, atau bahkan tidak sama sekali. Dari itu semua kita bisa mengetahui bahwa kekuasaan Allah adalah mutlak, dan tidak terbatas.

Allah Maha Tunggal, Maha Esa, Maha berdiri sendiri, tiada ber-awal dan tiada ber-akhir, sebagai pencipta dan penguasa waktu. Hal ini menyatakan, bahwa Allah adalah Dzat yang Maha Agung dan tiada ber-umur, dan berada di luar system waktu, karena Allah sebagai pencipta waktu, berupa Dzat yang Maha abadi. Karena segala yang ber-umur adalah tidak abadi, berupa mahluk dan segala ciptaan-Nya.

Ketika waktu beranjak dari detik ke-"0" ketika dunia fana berupa alam semesta diciptakan oleh Allah (Big-Bang), maka berarti pula, program Allah untuk ciptaan-Nya mulai berjalan dan berlaku, berupa takdir dan sunatullah-Nya, seperti yang tertulis dalam super duper database "Lauhil Mahfudz". Semua hal dan kejadian yang ada dalam seluruh alam telah ditentukan/ terprogram oleh Allah semenjak zaman azali di Lauhil Mahfudz. Jadi tidak ada satu kejadian-pun yang luput dari perhatian Allah SWT. Bahkan walaupun cuma jatuhnya setetes air dan gugurnya daun dari tangkainya. Maka dari itu, Allah adalah super duper programmer yang Maha dahsyat untuk semua kejadian yang berjalan tiap detik mulai dari detik ke-"0" sampai nanti hari kiamat, sebagai akhir dari alam dunia yang fana ini. Wallahu a'lam bishawab.

Tuesday, October 09, 2007

makan....tidur.....mkn...tdr....

Sepertinya, manusia tak pernah bosan dgn yg namanya makan dan tidur. Yach gmn lagi, namanya juga makhluk biologis...pastilah sangat normal dan wajar jika merasa lapar dan dahaga. Juga ketika kantuk menyapa, wah bayangan kita pastilah kasur dan bantal yang empuk untuk menemani kita melayang ke alam mimpi. Tapi pernahkah kita membayangkan betapa susahnya orang2 yang ngga bisa makan, dan tentu saja tidurpun jadi sulit karena perut kosong. So buka mata, buka hati..di bulan suci ini, kita umat Islam diperintahkan untuk saling berbagi lewat zakat, infaq & shodaqoh. Sebenernya klo kita mau berzakat, dgn menyisihkan sedikit harta dan rezeki yg tlah diberikan Alloh pada kita, maka sepertinya takkan ada orang yang akan kelaparan lagi...Maka daripada itu, kesempatan masih ada sampai menjelang fajar tgl 1 syawal untuk berzakat fitrah. Yang berguna untuk membersihkan hati dan jiwa kita...Jangan lupa juga harta dan rezeki yang telah diberikan pada kita juga harus dibersihkan lewat zakat harta. Karena pada sebagian harta kita terdapat hak2 orang lain yang membutuhkan bantuan kita...tak ada salahnya saling berbagi kan...dan percayalah dengan keikhlasan hati, pasti harta kita akan dilipatgandakan oleh Alloh sebagai sedikit kompensasi, selain kita jg mendapat pahala. Tapi sebenarnya bukan itu tujuan kita. Yang terpenting adalah kita dengan ikhlas bisa saling berbagi dengan zakat, infaq, dan shodaqoh. Dan orang2 yang kita bantu bisa menikmati lebaran, at least mereka tidak kelaparan dan bisa tidur dengan nyenyak.
Coba saja konsep zakat ini diterapkan pada kehidupan kita berbangsa dan bernegara. Betapa tak kan ada orang yang terlalu sangat kesusahan di negeri ini. Paling tidak, jika di indonesia terdapat orang yang merasa mampu sebanyak 50% aja dari 200juta jiwa lebih rakyat indonesia, dan tiap orang yang mampu tersebut bisa menyumbang 10rb aja ato klo bisa lebih. Maka akan didapat 10rb X 100juta jiwa hasilnya adalah 1 triliun rupiah. So lumayan kan uang sebesar itu untuk ngebantu sodara2 kita yang lebih membutuhkan dan kurang beruntunk dari kita....wallohu A'lam...